Kamis, 17 Februari 2011

TENTANG CINTA

Sekilas tentang dirimu
Yang lama ku nanti
Memikat hatiku
Jumpamu pertama kali
Janji yang pernah terucap
Tuk satukan hati kita
Namun tak pernah terjadi
Mungkinkah masih ada waktu
Yang tersisa untukku
Mungkinkah masih ada cinta di hatimu

Andaikan saja aku tahu
Kau tak hadirkan cintamu
Inginku melepasmu dengan pelukan

Sesal yang datang selalu
Takkan membuatmu kembali
Maafkan aku yang tak pernah tahu
Hingga semuanya pun kini tlah berlalu

Maafkan aku
Maafkan aku

Mungkinkah masih ada waktu
Yang tersisa untukku
Mungkinkah masih ada cinta di hatimu

Andaikan saja aku tahu
Kau tak hadirkan cintamu

Inginku melepasmu dengan pelukan
Inginku melepasmu dengan pelukan

Rabu, 16 Februari 2011

Kekuasaan Michel Foucault

Nama         : Astarina Widyastuti
Nim           : K 8409011
Kelas         : B
Makul        : Teori Modern & Post Modern
Dosen        : Yosafat Hermawan Trinugraha, S. Sos.


Pemikiran Kekuasaan Michel Foucault

Kekuasaan bukanlah sesuatu yang sifatnya tunggal ataupun memiliki inti, tetapi kekuasaan adalah sesuatu yang terus berputar. Selanjutnya, Foucault juga menyebutkan bahwa kekuasaan mencakup semua aspek dalam kehidupan sosial, bentuknya pun beragam, terdapat dimana-mana dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, hal ini ia utarakan untuk mengkritik pandangan masyarakat yang berpikiran bahwa ranah kekuasaan hanyalah yang berhubungan dengan kedisiplinan. Lebih lanjut, pemikiran Foucault tentang kekuasaan juga berusaha untuk menyadarkan bahwa selain sesuatu yang sifatnya represif, kekuasaan sebenarnya juga dapat berbentuk indoktrinasi nilai-nilai.
Foucault membandingkan antara bentuk kekuasaan yang sifatnya klasik dengan kekuasaan modern. Jika pada kekuasaan klasik yang ditonjolkan adalah hukuman fisik baik yang ringan, berat, ataupun hukuman mati, bentuk kekuasaan modern lebih pada aturan- aturan yang harus dipatuhi. Di sisi lain, Foucault juga beranggapan bahwa operasi kekuasaan, baik yang paling jelas ataupun yang paling sulit diidentifikasi, adalah sebuah diskursus (wacana). Foucault menyatakan bahwa apa yang dibahas dalam suatu wacana adalah selalu kehendak dan kekuasaan yang kemudian berdampak pada pembentukan suatu kebenaran. Bagi Foucault, kebenaran adalah sebuah obyek (yang sarat dengan fungsi kuasa) yang lahir dari suatu wacana.
Pengetahuan dan kekuasaan adalah konsep Foucault yang menarik, karena Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan para ahli yang lain. Kuasa oleh Foucault tidak diartikan “kepemilikan”. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup tertentu di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain (Eriyanto, 2001: 65). Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi untuk mengetahui bahwa untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan (Eriyanto, 2001: 66). Karena setiap kekuasaan disusun dan dimapankan oleh pengetahuan dan wacana tertentu.
Oleh karena itu, dalam menentukan kebenaran bagi Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang begitu saja (konsep yang abstrak). Kebenaran menurut Foucault diproduksi oleh setiap kekuasaan. “ Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling memperngaruhi…tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya…” (Michel Foucault, 1979: 27).
Apa yang hendak dibongkar oleh Foucault adalah bagaimana orang- orang mengatur atau meregulasi diri mereka sendiri dan orang lain dengan menciptakan klaim kebenaran (sebuah pembakuan atau pemutlakan benar-salah, baik-buruk, indah-jelek) dapat dibuat teratur, tetap, dan stabil. Oleh karena itu, Foucault meyakini bahwa kuasa tidak bekerja melalui represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, tetapi melainkan dengan cara positif dan produktif.
Menurut Foucault, “kuasa adalah nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu” (Foucoult, 1997). Dalam hubungan itu, kata Foucault, tentu saja ada pihak yang di atas dan di bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Tetapi ini tidak berarti kekuasaan terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya, kekuasaan menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan ‘merasuki’ seluruh bidang kehidupan manyarakat modern. Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, dalam keluarga, di sekolah, kampus, dsb.
Kekuasaan itu ialah kekuasaan untuk menjamin normalitas, regularitas, familiaritas. Negara memang penting, namun kekuasaan untuk menjamin normalitas ini lebih dari sekadar kekuasaan negara. Pertama, negara tak mencakup semua hubungan kekuasaan aktual. Kedua, negara hanya dapat beroperasi secara efektif berdasarkan relasi-relasi kekuasaan lain yang sudah ada, serangkaian jaringan kekuasaan beraneka yang sudah beroperasi pada berbagai hal, semisal teknologi, pengetahuan, puak dan marga, keluarga inti, bahkan tubuh dan seksualitas. Kekuasaan itu menyebar. Subjek, begitu pun institusi, adalah korban sekaligus penjelmaan dari kekuasaan.
Konsep kuasa Foucault di atas menampilkan substansi (apa) dan operasi (bagaimana) fenomena kuasa dalam keseharian. Secara substansial Foucault menyatakan bahwa pelaksanaan kekuasaan terus-menerus menciptakan pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan tak henti-hentinya menimbulkan efek-efek kekuasaan. Selain itu Foucault juga menunjukkan bahwa secara operasional kekuasaan adalah strategi yang menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat siapapun. Pengetahuan dan kuasa saling mengandaikan. Kuasa menjelma ke dalam pengetahuan agar ia operatif dan efektif merasuki alam bawah sadar setiap orang melalui kebudayaan yang memikat, nilai-nilai yang memukau, dan kebijakan-kebijakan yang baik, sebagaimana juga melalui tekanan, sanksi, bayaran, suap. Jadi pengetahuan menghasilkan baik sumber-sumber kuasa lunak maupun kuasa keras.
Tujuan utama Foucault adalah mengkritik cara masyarakat modern mengontrol dan mendisiplinkan anggota-anggotanya dengan mendukung klaim dan praktik pengetahuan ilmu manusia: kedokteran, psikiatri, psikologi, kriminologi dan sosiologi. Ilmu manusia telah menetapkan norma-norma tertentu dan noram tersebut direproduksi serta dilegitimasi secara terus-menerus melalui praktik para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan petugas administrasi. Ilmu manusia menempatkan manusia menjadi subyek studi dan subyek negara. Terjadi ekspansi sistem administrasi dan kontrol sosial yang dirasionalkan secara terus-menerus (Sarup, 1993: 108-110).
Memasukkan pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan sebagai amunisi penting untuk menganalisis tubuh dan kesehatan perempuan dalam relasi kuasa yang tidak seimbang, merupakan langkah-langkah strategis yang tak dapat dilepaskan dari pergerakan feminisme. Feminisme berusaha untuk membongkar diskursus atau wacana-wacana yang bersifat misoginis. Pembongkaran suatu wacana seringkali membutuhkan keajegan berpikir, koherensi dan semua ini menurut Arivia (2003:17) memerlukan refleksi filsafat. Melalui refleksi filsafat, akan ditinjau bagaimanakah diskursus tentang tubuh mempengaruhi kesehatan reproduksi dan kualitas hidup perempuan. Pemikiran filsafat tentang tubuh dan kesehatan perempuan belum banyak mendapat tempat dalam filsafat meanstream yang cenderung misoginis. Atas dasar itulah, dirasakan perlu dilakukan kajian secara mendalam tentang tubuh dan kesehatan perempuan dari perspektif filsafat feminis.
Gagasan Foucault tentang kekuasaan yang tersebar memungkinkan kelompok-kelompok marginal, termasuk kelompok perempuan untuk mengeksplorasi dan membongkar permasalahan yang membelenggu kehidupan mereka. Dikatakan bahwa pemikiran Foucault dapat digunakan menjadi alat picu kebangkitan kesadaran akan kolektivitas dan pluralitas peradaban.
Pemikiran Foucault tentang kekuasaan menjadi pemikiran penting untuk membuat membongkar dan perubahan. Pemikirannya dapat digunakan untuk mendorong suatu perubahan paradigma dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Mendorong perubahan paradigma di dalam ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan, termasuk dalam pendidikan kedokteran, serta mendorong perubahan kebijakan dan program dalam berbagai bidang pembangunan lainnya.
Daftar Pustaka

George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi. Bantul: Kreasi Wacana
http://jefasta.multiply.com/journal/item/4/Michael_Foucoult_Pemikiran_tentang_Kekuasaan
http://www.scribd.com/doc/26994716/Konsep-Kuasa-Michel-Foucault-untuk-Analisis-Wacana-Kritis

STRATIFIKASI SOSIAL

BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang
Masyarakat dengan segala aspek yang mencakup di dalamnya merupakan suatu objek kajian yang menarik untuk diteliti. Begitu pula dengan sesuatu yang dihargai oleh masyarakat tersebut. Dengan kata lain, sesuatu yang dihargai dalam sebuah komunitas masyarakat akan menciptakan pamisahan lapisan atau kedudukan seseorang tersebut di dalam masyarakat. Pada kajian yang dibahas dalam makalah ini, yaitu stratifikasi sosial yang terjadi antara masyarakat kuno dan modern, kita akan dapat menemukanperbedaan yang terjadi di dalamnya, menarik sebuah kesimpulan yang terjadi akibat stratifikasi sosial.
Secara umum dapat kita pahami bahwa stratifikasi sosial yang terjadi pada zaman kuno dan modern adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarin membutuhkan sebuah kajian yang berguna untuk menindak lanjuti dampak-dampak yang berasal dari stratifikasi sosial dalam masyarakat.
Masyarakat manusia terdiri dari beragam kelompok-kelompok orang yang ciri-ciri pembedanya bisa berupa warna kulit, tinggi badan, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, kepercayaan agama atau politik, pendapatan atau pendidikan. Pembedaan ini sering kali dilakukan bahkan mungkin diperlukan.
Semua manusia dilahirkan sama seperti yang selama ini kita tahu, melalui pendapat para orang-orang bijak dan orang tua kita atau bahkan orang terdekat kita. Pendapat demikian ternyata tidak lebih dari omong kosong belaka yang selalu ditanamkan kepada setiap orang entah untuk apa mereka selalu menanamkan hal ini kepada kita.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, kenyataan itu adalah ketidaksamaan. Beberapa pendapat sosiologis  mengatakan dalam semua masyarakat dijumpai ketidaksamaan di berbagai bidang misalnya saja dalam dimensi ekonomi: sebagian anggota masyarakat mempunyai kekayaan yang berlimpah dan kesejahteraan hidupnya terjamin, sedangkan sisanya miskin dan hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera. Dalam dimensi yang lain misalnya kekuasaan: sebagian orang mempunyai kekuasaan, sedangkan yang lain dikuasai. Suka atau tidak suka inilah realitas masyarakat, setidaknya realitas yang hanya bisa ditangkap oleh panca indera dan kemampuan berpikir manusia. Pembedaan anggota masyarakat ini dalam sosiologi dinamakan startifikasi sosial.
Seringkali dalam pengalaman sehari-hari kita melihat fenomena sosial seperti seseorang yang tadinya mempunyai status tertentu di kemudian hari memperoleh status yang lebih tinggi dari pada status sebelumnya. Hal demikian disebut mobilitas sosial. Sistem Stratifikasi menuruf sifatnya dapat digolongkan menjadi straifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup, contoh yang disebutkan diatas tadi merupakan contoh dari stratifikasi terbuka dimana mobilitas sosial dimungkinkan.

I.II Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, akan dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dari stratifikasi sosial?
2.    Bagaimana proses terjadinya stratifikasi sosial dalam masyarakat?
3.    Apa karakteristik sosial masyarakat itu?
4.    Apa unsur – unsur dari stratifikasi sosial itu?
5.    Apa sifat stratifikasi sosial itu?
6.    Apa fungsi stratifikasi sosial dalam masyarakat?
7.    Apa dampak dari adanya stratifikasi sosial?

I.III Tujuan
1.    Mengetahui pengertian dari stratifikasi sosial
2.    Mengetahui proses terjadinya stratifikasi sosial dalam masyarakat
3.    Mengetahui karakteristik sosial masyarakat
4.    Mengetahui unsur – unsur stratifikasi sosial
5.    Mengetahui sifat stratifikasi sosial
6.    Mengetahui fungsi stratifikasi sosial dalam masyarakat
7.    Mengetahui dampak dari stratifikasi sosial











BAB II
PEMBAHASAN

II. I Pengertian Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (vertikal), yakni pemisahan kedudukan anggota masyarakat ke dalam tingkat-tingkat kelas pada masyarakat.Menurut Robert MZ. Lawang Pelapisan sosilal merupakan penggolongan orang –orang dalam suatu sistam sosial tertentu secara hierarki menurut dimensi kekuasaan, privelese, dan prestise.
Jadi stratifikasi sosial adalah perbedaan yang terjadi baik disengaja atau tidak dalam masyarakat secara vertikal.Stratifikasi sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai dalam masyarakat, misalnya: harta, kekayaan, ilmu pengetahuan, kesalehan, keturunan dan lain sebagainya. Stratifikasi sosial akan selalu ada selama dalam masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai (Prof. Selo Sormardjan Stratifikasi sosial akan menimbulkan kelas sosial, dimana setiap anggota masyarakat akan menempati kelas sosial sesuai dengan kriteri yang mereka miliki. Kelas sosial adalah golongan yang terbentuk karen adanya perbedaan kedudukan tinggi dan rendah, dan karena adanya rasa segolongan dalam kelas tersebut masing-masing, sehingga kelas yang satu dapat dibedakan dari kelas yang lain. Adapun stratifikasi sosial pada masyarakat kuno dan modern berbeda karena kriteria sesuatu yang dihargai juga berbeda.
Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas – kelas secara bertingkat (hirarkies). Perwujudannya adalah kelas - kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai – nilai sosial pengaruhnya diantara anggota – anggota masyarakat.

II. II Proses Terjadinya Srtatifikasi Sosial
Adanya sistem stratifikasi masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu. Akan tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Alasan terbentuknya lapisan yang terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas – batas tertentu. Alasan – alasan yang dipakai berlainan bagi tiap – tiap masyarakat. Pada masyarakat yang hidupnya dari berburu hewan alasan utama adalah kepandaian berburu. Sementara itu, pada masyarakat yang telah menetap dan bercocok tanam, kerabat pembuka tanah (yang dianggap asli) dianggap sebagai orang – orang yang menduduki lapisan tinggi. Hal ini dapat dilihat misalnya pada masyarakat Batak, di mana marga tanah yaitu marga yang pertama – tama  membuka tanah dianggap mempunyai kedudukan yang tinggi. Demikian pula golongan pembuka tanah dikalangan orang Jawa di desa dianggap mempunyai kedudukan tinggi  karena mereka dianggap sebagai pembuka tanah dan pendiri desa yang bersangkutan. Masyarakat lain menganggap bahwa kerabat kepala masyarakatlah yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, misalnya pada masyarakat Ngaju di Kalimantan Selatan.
Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi, sesuai dengan kenyataan hidup kelompok – kelompok sosial halnya tidaklah demikian. Perbedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan bagian sistem sosial setiap masyarakat. Untuk meneliti terjadinya proses – proses lapisan masyarakat, dapatlah pokok – pokok berikut dijadikan pedoman:
1.    Sistem lapisan mungkin berpokok pada sistem pertentangan dalam masyarakat. Sistem demikian hanya mempunyai arti yang khusus bagi masyarakat – masyarakat tertentu yang menjadi objek penyelidikan.
2.    Sistem lapisan dapat dianalisis dalam ruang lingkup unsur – unsur antara lain:
a.    Distribusi hak – hak istimewa yang objektif seperti misalnya penghasilan, kekayaan, keselamatan (kesehatan, laju angka kejahatan), wewenang, dan sebagainya.
b.    Sistem pertentangan yang diciptakan para warga masyarakat (prestise dan penghargaan).
c.    Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik, wewenang atau kekuasaan.
d.    Lambang – lambang kedudukan, seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, keanggotaan pada suatu organisasi.
e.    Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan.
f.      Solidaritas diantara individu – individu atau kelompok – kelompok yang menduduki kedudukan yang sama yang sama dalam sistem sosial masyarakat seperti
1)   Pola – pola interaksi – interaksi (struktur klik, keanggotaan organisasi, perkawinan dan sebagainya).
2)   Kesamaan atau ketidaksamaan sistem kepercayaan, sikap dan nilai – nilai.
3)   Kesadaran akan kedudukan masing – masing.
4)   Aktivitas sebagai organ kolektif.
Seperti telah diuraikan, ada pula sistem lapisan yang dengan sengaja disusun untuk mengajar suatu tujuan bersama. Hal itu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang resmi dalam organisasi – organisasi formal, seperti pemerintah, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata atau perkumpulan. Kekuasaan dan wewenang merupakan unsur khusus dalam sistem lapisan. Unsur tersebut mempunyai sifat yang lain dari uang, tanah, benda – benda ekonomis, ilmu pengetahuan, atau kehormatan. Uang, tanah, dan sebagainya dapat terbagi secara bebas di antara para anggota suatu masyarakat tanpa merusak keutuhan masyarakat itu.
Akan tetapi, suatu masyarakat hendak hidup dengan teratur, kekuasaan dan wewenang yang ada harus dibagi dengan teratur pula sehingga jelas bagi setiap orang di tempat mana letaknya kekuasaan dan wewenang dalam organisasi, secara vertikal dan horizontal. Apabila kekuasaan dan wewenang tidak dibagi secara teratur, kemungkinan besar sekali akan terjadi pertentangan – pertentangan yang dapat membahayakan keutuhan masyarakat.

II. III Karakteristik Sosial
Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu :
1. Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan. Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampaun yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya. Contoh : berbeda dengan pegawai negeri golongan IV yang kebanyakan mamp membeli mobil, akibat keterbatasan gaji yang diperolehnya seorang pegawai negeri golongan I dan II tentu hanya akan sanggup membeli sepeda atau sepeda motor saja.
2. Perbedaan dalam gaya hidup (life style). Seorang direktus sebuah perusahaan, selain selalu dituntut berpakaian rapi, mereka biasanya juga melengkapi atribut penampilannya dengan aksesoris-aksesoris lain untuk menunjang kemantapan penampilan seperti memakai dasi, bersepatu mahal, berolahraga tennis atau golf, memakai pakaian merek terkenal, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang sesuai dengan statusnya. Seorang direktur sebuah perusahaan besar kemungkinan akan menjadi pergunjingan. Sebaliknya, seorang bawahan yang berperilaku seolah-olah direktur tentu juga akan menjadi bahan cemoohan.
3. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memamfaatkan sumber daya. Seorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu, seseorang yang tidak menduduki jabatan strategis apapun tentu hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil. Seorang kepala bagian, misalnya, selain memiliki gaji yang besar dan memiliki ruang kerja sendiri, mereka juga berhak untuk memerintah stafnya. Bandingkan dengan hak dan fasilitas apa saja yang dimiliki oleh bawahannya? Sejauh mana hak dan fasilitas antara kedua berbeda?. Didalam berbagai perusahaan swasta, biasanya kita akan menemui adanya ketentuan tertulis yang mengatur apa saja yang menjadi hak atasan dan apa pula yang menjadi hak bawahan. Kendati sama-sama pekerja di sebuah perusahaan, bila seorang kepala bagian sakit dan harus opname dirumah sakit, maka ia akan berhak menginap di kamar yang baik, katakanlah kelas I. sedangkan bila ada seorang staf yang sakit, mungkin perusahaan hanya mampu mengganti maksimal biaya menginap dikamar kelas III atau sekurang-kurangnya tidak mungkin sama dengan yang menjadi hak kepala bagiannya.

II. IV Unsur – Unsur Stratifikasi Sosial
Dalam teori sosiologi, unsur-unsur system pelapisan sosial dalam masyarakat adalah :
1.      keudukan (status)
2.      peran (role)
Kedudukan dan peranan di samping unsur-unsur pokok dalam system berlapis-lapis dalam masyarakat, juga mempunyai arti yang sangat penting bagi system sosial masyarakat. Status menunjukkan tempat atau posisi seseorang dalam masyarakat, sedangkan peranan menunjukkan aspek dinamis dari status, merupakan suatu tingkah laku yang diharapkan dari seorang individu tertentu yang menduduki status tertentu. Untuk lebih jelasnya akan dibicarakan masing-masing unsur tersebut di bawah.
a.)  Kedudukan (status)
Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial (social status). Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut, atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain didalam kelompok yang lebih besar lagi.
Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, hak-hak dan kewajibannya. Dengan demikian kedudukan sosial tidaklah semata-mata merupakan kumpulan kedudukan-kedudukan seseorang dalam kelompok yang berbeda, tapi kedudukan sosial tersebut memengaruhi kedudukan orang tadi dalam kelompok sosial yang berbeda. Namun, untuk mendapatkan pengertian yang mudah kedua istilah tersebut akan digunakan dalam pengertian yang sama, yaitu kedudukan (status).


b.) Peran (Role)
Peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Artinya, seseorang telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan sesuatu peran. Keduanya tak dapat dipisahkan karena satu dengan yang lain saling tergantung, artinya tidak ada peran tanpa status dan tak ada status tanpa peran. Sebagai mana kedudukan, maka setiap orang pun dapat mempunyai macam-macam peran yang berasal dari pola pergaulan hidupnya. Hal tersebut berat pula bahwa peran tersebut menentukan apa yang diperbuatnyabagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan masyarakat kepadanya. Peran sangat penting karena dapat mengatur perilaku seseorang, di samping itu peran menyebabkan seseorang dapat meramalkan perbuatan orang lain pada batas-batas tertentu, sehingga seseorang dapat menyesuaikan perilakunya sendiri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya.

II. V Sifat Stratifikasi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedakan menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran.
a)    Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Social Stratification)
Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja. Contoh:
Ø   Sistem kasta.
Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana.
Ø   Rasialis.
Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih.
Ø   Feodal.
Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan/majikan.
b) Stratifikasi Sosial Terbuka (Opened Social Stratification)
Stratifikasi ini bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Contoh:
Ø   Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya.
Ø   Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha.

c) Stratifikasi Sosial Campuran
Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.

II. VI Fungsi Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial dapat berfungsi sebagai berikut :
a)    Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif, seperti menentukan penghasilan, tingkat kekayaan, keselamatan dan wewenang pada jabatan/pangkat/ kedudukan seseorang.
b)   Sistem pertanggaan (tingkatan) pada strata yang diciptakan masyarakat yang menyangkut prestise dan penghargaan, misalnya pada seseorang yang menerima anugerah penghargaan/gelar/ kebangsawanan, dan sebagainya.
c)    Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat melalui kualitas pribadi, keanggotaan kelompok, kerabat tertentu, kepemilikan, wewenang atau kekuasaan.
d)   Penentu lambang-lambang (simbol status) atau kedudukan, seperti tingkah laku, cara berpakaian dan bentuk rumah.
e)    Tingkat mudah tidaknya bertukar kedudukan.
f)     Alat solidaritas diantara individu-individu atau kelompok, yang menduduki sistem sosial yang sama dalam masyarakat.

II. VII Dampak Stratifikasi Sosial
Pengaruh atau dampak stratifikasi sosial pada kehidupan masyarakat sangat besar dan berpengaruh. Karena dengan kelas sosial yang ada akan menyediakan masyarakat dengan apa yang mereka butuhkan. Stratifikasi sosial dalam masyarakat digambarkan mengerucut atau seperti piramida, hal ini disebabkan semakin tinggi kelas sosial, semakin sedikit pula jumlah yang menempatinya. Adapun dampak stratifikasi sosial pada dalam kehidupan masyarakat adalah:
1.    Orang yang menduduki kelas sosial yang berbeda akan memiliki kekuasaan, privelese, dan prestise yang bebeda pula, dalam artian akan menciptakan sebuah perbedaan status sosial.
2.    Kemungkinan timbulnya proses sosial yang disosiatif berupa persaingan, kontravensi, maupun konflik.
3.    Penyimpangan perilaku karena kegagalan atau ketidak mampuan mencapai posisi tertentu. Kejahatan tersebut dapat berupa alkoholisme, korupsi, kenakalan remaja dan lain sebagainya.
4.    Konsentrasi elite status, yaitu pemusatan kedudukan yang penting pada golongan tertentu, misalnya kolusi.





























BAB III
PENUTUP

III. I Kesimpulan
Dari pembahasan bab II dapat diambil kesimpulan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat dalam kelas-kelas secara bertingkat. Stratifikasi sosial ada karena terdapat sesuatu yang dihargai. Dalam masyarakat kita masa kini yang berada dalam proses industrialisasi berkembang suatu kelas menegah adalah dalam gaya hidup yang cenderung mengarah ke negara indutrialisasi maju seperi Amerika, yakni  gaya hidup yang mengarah pada konsumerisme dan materialisme.  Namun ada juga nilai yang mengarah ke semangat kerja yang tinggi, khususnya dikalangan wanita karier yang mengakibatkan penundaan berkeluarga demi karier.
Di dalam masyarakat perbedaan prestise yang tercermin dari perbedaan gaya hidup (lifestyle). Ini tercermin  dalam mengenakan busana, perlengkapan rumah tangga , property hiburan, makanan dll.
Simbol status, menurut pandangan Berger orang senantiasa  memperlihatkan apa yang telah diraihnya dengan memakai berbagai simbol. Misalnya: cara menyapa seorang majikan kepada bawahanya.
Dampak dari stratifikasi sosial sangat besar karena pada kelas sosial yang ada akan menyediakan masyarakat dengan kebutuhan yang mereka butuhkan.

III. II  Saran - saran
Stratifikasi sosial bukan halangan bagi kita untuk menjadi lebih baik. Maka sifat optimis dan merasa cukup dalam hal ini diperlukan. Tidak ada masyarakat tanpa stratifikasi sosial, maka optimalisasi peran adalah yang terbaik.









DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajawali Pers