Antropologi menjadi “kue” rebutan dan perhatian dari berbagai kalangan ilmuwan sosial budaya sejak catatan-catatan para kolonial dan penjelajah menulis tentang kehidupan manusia diluar Eropa yang mereka anggap berbeda dengan kaum Eropa. Sehingga lahirlah etnografi sebagai produk antropologi. Semua ilmuwan sosial bisa memakai “antropologi” secara umum karena kajiannya yang terpusat pada manusia dan perilakunya. Apalagi ruang kehidupan manusia tanpa batas waktu tetap menjadi data primer antropologi untuk menghasilkan karyanya.
Disiplin ilmu sosial dan budaya menempatkan antropologi sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan sosial yang berusaha membahas kedua sisi sifat hakikat manusia sekaligus, yaitu biologis (antropologi ragawi) dan sisi kultural (antropologi budaya). Jadi semua sisi biologi seperti fisik manusia yang berbeda-beda menjadi objek kajiannya, serta hasil dari interaksi manusia yang menghasilkan budaya dan unsur-unsurnya juga menjadi objek antropologi, karena itu antropologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang manusia dan kekomplekan masalahnya.
Sebagian ilmuwan sosial budaya menggunakan istilah antropologi untuk melihat fenomena tertentu yang berkembang dalam masyarakat dengan mengaitkan langsung kepada antropologi fulan wa fulan. Sebenarnya antropologi sebagai sebuah disiplin ilmu memiliki istilah permanen sendiri ketika dikontekskan dengan ilmu lainnya. Tidak semua fenomena kadang cocok dikaitkan dengan kata antropologi seperti “aliran sesat” yang sangat sensitif isunya dan dia juga bukan ilmu tetapi fenomena dalam masyarakat, jadi kurang tepat apabila disandingkan ilmu antropologi dengan kata aliran sesat kemudian membentuk antropologi aliran sesat mengingat tidak semua masyarakat kita mengerti “antropologi”.
Dalam disiplin antropologi yang ruang lingkup kajiannya begitu luas, para ahli antropologi hanya membaginya berdasarkan pendekatan ilmu lain yang akan dikaji, seperti antropologi ekonomi, antropologi sosial dan budaya, antropologi linguistik, antropologi sejarah, antropologi hukum, antropologi pertanian, antropologi kelautan dan antropologi agama sebagai antropologi untuk melihat aliran sesat yang menjadi kegelisahan dalam masyarakat terkait dengan kepercayaannya sebagai unsur budaya. Namun untuk menjadikannya “tema” menarik maka sang penulis sah-sah saja memakai istilah itu.
Pada ruang tulisan ini saya bukan hakim yang berhak menyalahkan pendapat orang dan tulisannya kemudian memenangkan pihak yang merasa dirugikan. Tetapi sebagai mahasiswa antropologi saya memiliki tanggung jawab untuk meluruskan hal yang saya anggap benar menurut apa yang saya pelajari meskipun kebenaran itu sangat relatif. Dan pada ruang ini saya mengajak pihak akademisi dan ilmuwan seharusnya bersikap bijak membaca sesuatu tanpa kemudian langsung mengklaim “salah” apalagi langsung menuduh seseorang telah provokatif dan merugikan lembaga.
Tulisan saudara Sehat Insan Sadikin (SIS) merupakan sebuah analisis terhadap fenomena religi, wajar saja tema seperti itu lahir mungkin karena kedongkolan melihat kualitas agama bangsanya yang “rapuh” dikikis oleh “pop culture”. Namun saya kurang sepakat manakala menempatkan tema “antropologi aliran sesat” karena antropologi tidak berhak memberikan klaim kepada sebuah kepercayaan dengan kata sesat, apalagi tema tersebut bisa melahirkan multi tafsir dan alangkah lebih baik bila tema itu ditulis dengan tema antropologi agama.
Pada ranah ilmu sosial budaya, antropologi mengambil “jatah” kajian yang ruang lingkupnya begitu luas. Sehingga dalam bukunya Teori Budaya karangan David Kaplan dan Robert A. Manners sempat tertulis antropologi merupakan ilmu paling “takabur” dalam artian positif diantara sekalian ilmu sosial. Betapa tidak karena antropologi mengambil budaya manusia untuk kajiannya di segala waktu dan tempat sebagai bidangnya yang sah.
Fenomena aliran sesat di Aceh menjadi objek kajian antropologi bagi ilmuwan yang mengambil antropologi agama sebagai landasan pacunya. Penulis antropologi aliran sesat SIS adalah penulis yang tepat untuk mengupas masalah tersebut, namun ada sedikit “riak” sepertinya ketika penulis antropologi agama tersebut menempatkan objek kajiannya di depan kata “antropologi”. Karena bagaimanapun aliran sesat adalah bagian dari fenomena budaya dan penafsiran yang lahir dari paradigma berpikir.
Aliran sesat di Aceh memang bukan antropologi sebagaimana yang dipermasalahkan oleh pihak yang merasa dirugikan, tetapi ini merupakan objek kajian antropologi untuk mencari benang merah mengapa fenomena ini bisa lahir. Tema tulisan yang mengacu kepada isu sensitif memang bisa memberikan dampak luas bagi siapa yang menafsirkannya. Namun sebagai seorang yang bijaksana kita bisa mengetahui isi tema setelah membaca semua isi tulisan.
Dalam kasus ini saya sedikit memberikan keterangan yang mungkin bisa 'mendinginkan' suasana, pertama, antropologi bukan ilmu yang dengan mudah memberikan “klaim” apalagi sampai menghakimi sebuah aliran dalam nuansa religi dengan kata “sesat”, karena antropologi bukan ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf. Dia hanya ilmu yang memberikan gambaran gejala dan fenomena berdasarkan pada pertanyaan analisis mengapa itu bisa terjadi ?. Yang berhak memberikan klaim sebuah religi “sesat” hanyalah para ilmuwan dan cendikiawan agama tersebut apabila itu dirasa bertolak dengan keyakinannya.
Kedua, antropologi menempatkan agama sebagai kajian analisisnya yang bertumpu pada fenomena religi sebagai unsur budaya dan layak untuk diteliti dalam masyarakat. Manusia sebagai makhluk budaya tentu akan terus berkreasi bahkan termasuk dalam ranah religi. Emosi keagamaan yang menyebabkan bahwa manusia memiliki sikap serba-religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Faktor ini lahir dari proses pemikiran ada apa setelah “kehidupan” sehingga dengan rasa takut dan keyakinannya manusia membutuhkan agama. Antropologi tidak melihat sebuah agama, kepercayaan dan keyakinan salah atau benar, tetapi semua proses beragama manusia yang berasal dari emosi menjadi perhatian antropologi.
Sebagai ilmu yang menjelajahi masalah-masalah yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial, politik, tekhnologi, ekonomi, agama, bahasa, kesenian, dan mitologi. Antropologi memiliki jutaan tema melahirkan etnografinya sesuai paradigma berpikir. Mungkin untuk kalangan akademisi tema “antropologi aliran sesat” bisa dipahami secara konteks, namun bagaimana apabila “kue” antropologi aliran sesat di hidangkan kepada masyarakat kita yang tidak semuanya berbasis akademisi. Tentu akan melahirkan pemaknaan yang beragam.
Agama dalam antropologi dipahami secara mendatail, lewat kajiannya antropologi agama telah menempatkan Islam kedalam tiga dimensi, pertama, Islam tekstual, yaitu Islam yang bersarkan pada Al Qur an dan Hadits, kedua, Islam Penafsiran, yaitu Islam yang lahir dari berbagai penafsiran ulama untuk menjawab tantangan zaman manusia, ketiga, Islam Praktek, yaitu Islam yang dipraktekkan oleh semua muslim dengan variasi pemahamannya termasuk pada “aliran sesat” tersebut.
Sebenarnya untuk melihat fenomena aliran sesat di Aceh kita harus menemukan pola tepat. Kita lupa bahwa ada hal penting yang harus dilakukan yaitu bagaimana “mengislamkan orang Islam” kembali ke jalan Islam yang sesuai tuntunan Rasulullah. Fenomena hari ini sebenarnya adalah karena rapuhnya akidah umat Islam dan bukan salah “Islam-nya” serta nilai-nilainya karena ajaran Islam tidak pernah mengalami perubahan apalagi kerapuhan. Betapa banyak umat Islam hari ini yang perilaku kamanusiaannya tidak sesuai tuntunan Islam bahkan kebanyakan “melawan” nilai keislaman.
Akhirnya, tulisan ini hanyalah sebagai pengisi nuansa “ilmu antropologi” di ranah Aceh. antropologi bukanlah aliran sesat tetapi dia adalah sebuah disiplin ilmu budaya, kepada SIS tulisannya patut diapresiasi karena dengan analisisnya yang kuat melihat fenomena aliran sesat telah membuka mata kita, betapa lemahnya kuda-kuda keislaman Aceh selama ini. Seharusnya Islam di Aceh harus memberikan keindahan dengan Islam yang penuh nuansa pengetahuan dan kedamaian tidak terjebak dalam “materialisme” dan “gaya hidup” sehingga aliran lain tidak akan berani memasuki pintu Serambi Mekkah.
Kepada lembaga yang merasa dirugikan dan di “zalimi” dengan tema tersebut tidak perlu terjebak dengan kuantitas calon mahasiswa tapi bagaimana memikirkan kualitas mahasiswa yang ada untuk dijadikan teladan kepada calon mahasiswa berikutnya di jurusan antropologi. Karena sepengetahuan saya pengantar antropologi telah diajarkan di SMA-SMA diseluruh Aceh dan saya yakin mereka tahu bahwa antropologi itu bukanlah sebuah aliran apalagi “sesat”. Wallahualam. Muhajir Al Fairusy| Mahasiswa Pascasarjana Antropologi UGM. Grafis repro denyendra.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar